jpnn.com, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan Saksi Ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis, Suparta, dan Reza pada Kamis (24/10).
Salah satu Saksi Ahli Hukum Pertambangan dan Lingkungan Ahmad Redi menjelaskan bahwa nilai kerugian negara yang dihitung menggunakan dasar dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014, turunan dari UU 32 Tahun 2014, kerusakan lingkungan tersebut masuk ke dalam hukum perdata.
"Bab kerugian lingkungan bahwa pemerintah dapat menghitung kerugian, dalam konteks kerugian ini Perdata sebenarnya, kalau kita bicara secara normatif. Tapi bahwa itu bisa dijadikan instrumen untuk menghitung jadi sebagai pedoman," ucap Ahmad.
Sesuai dengan aturannya, Permen LH ini mengatur perhitungan soal ganti rugi dalam kerusakan lingkungan dari aktivitas yang dilakukan.
"Jadi, memang Permen LH ini kalau dilihat konsideran menimbangnya itu adalah ya tadi konteksnya adalah konteks penghitungan ganti rugi," kata dia.
Ahmad juga menjelaskan bahwa timah yang belum dibayarkan royaltinya belum bisa diklaim kepemilikannya sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Hal ini ditanyakan oleh Majelis Hakim soal kepemilikan timah milik PT Timah bisa diklaim saat masih di dalam tanah atau ketika sudah di ekspor dan bayar rolayti.
"Bisa dinyatakan bahwa itu punya PT Timah pada saat masih jadi kandungan atau setelah mau diekspor dengan catatan sudah membayar royalti?” tanya hakim kepada Ahmad.