jpnn.com - Pilar kedua perlawanan Tuan Rondahaim adalah gerilya ekologis, yang memanfaatkan pengetahuan mendalam tentang lanskap Simalungun untuk melawan superioritas teknologi Belanda.
Hutan lebat, sungai berliku, dan gua-gua di Dolok Tolong menjadi medan perang yang menguntungkan bagi pasukan Rondahaim.
Naskah Poda ni Datu (1450), disimpan di Museum Nasional Jakarta (MS.76b), mencatat strategi ini: “Molo marsahit tano, sai marhohang halak. Hutan do parhitean, aek do sahala” (“Jika tanah sehat, utuhlah manusia.
Hutan adalah benteng, air adalah kekuatan”) (fol. 7r). Prinsip ini menunjukkan bahwa perlawanan Simalungun tidak hanya militer, tetapi juga ekologis, dengan memandang alam sebagai sekutu yang hidup.
Pertempuran Dolok Sagala (1887) menjadi contoh utama gerilya ekologis. Kapten J.C.R. Schenck, dalam laporan militernya, mengeluhkan kesulitan melawan taktik Simalungun: “Zij verdwijnen in het oerwoud als geesten. Onze kanonnen zijn nutteloos tegen hun hinderlagen” (“Mereka lenyap di hutan seperti hantu. Meriam kami tak berguna melawan penyergapan mereka”) (Nationaal Archief, Collectie Schenck, inv. 78).
Schenck mencatat bahwa pasukan Rondahaim menggunakan panah beracun dari getah pohon ipoh (Antiaris toxicaria) dan jebakan lubang di jalur hutan, yang memanfaatkan pengetahuan botani dan topografi lokal. Analisis etnobotani oleh LIPI (2020) mengkonfirmasi bahwa getah ipoh mengandung kardiotoksin yang mampu melumpuhkan dalam hitungan menit, menjadikannya senjata efektif melawan infanteri Belanda (Laporan Etnobotani Simalungun, 2020: 56).
Rondahaim juga menggunakan sistem parmangmang (prakiraan cuaca) untuk mengatur waktu serangan. Tradisi lisan yang dikumpulkan oleh Yayasan Pustaka Simalungun (2022) mencatat bahwa Rondahaim menyerang pos Belanda di Panei pada malam tanpa bulan setelah datu memprediksi hujan lebat berdasarkan pola terbang burung balam.
Prediksi ini memungkinkan pasukannya bergerak tanpa terdeteksi, karena hujan menghapus jejak dan meredam suara. Naskah Poda ni Datu (1475) mendokumentasikan indikator cuaca ini: “Molo balam marhosa, sai marudan ma langit” (“Jika balam sehat, hujanlah langit”) (Museum Simalungun, MS.PD/01).