jpnn.com, JAKARTA - Penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia kembali menjadi sorotan publik menyusul putusan dalam kasus Mardani H Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu.
Para ahli hukum menilai bahwa putusan tersebut mencerminkan adanya kecenderungan “presumption of corruption” atau praduga korupsi yang berlebihan dalam sistem peradilan Indonesia.
Mardani Maming divonis bersalah atas dugaan suap terkait izin usaha pertambangan. Namun, sejumlah pakar hukum meragukan dasar hukum dari putusan tersebut.
Beberapa guru besar hukum dan akademisi hukum mulai dari kampus ternama seperti Universitas Padjadjaran serta universitas Islam Indonesia sudah lugas menyatakan ada kekeliruan dalam putusan tersebut.
Dukungan terkait kasus ini juga datang dari Akademisi Departemen Hukum Administrasi Negara dan Departemen Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada Dr Hendry Julian Noor S.H., M.Kn dan tim Hukum UGM berpendapat bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya unsur pidana korupsi.
Salah satu poin penting yang dikritisinya adalah penerapan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Dia berpendapat bahwa tindakan Mardani Maming masih berada dalam koridor kewenangannya sebagai kepala daerah dan tidak melanggar prosedur yang berlaku.
"Putusan ini mengkhawatirkan karena mengaburkan batas antara tindakan yang bersifat administratif dengan tindak pidana korupsi," ujarnya saat memberi keterangan ahli terkait kekeliruan dan kekhilafan yang nyata hakim dalam mengadili perkara Mardani H Maming.