jpnn.com - Beberapa wanita Tionghoa terlihat agak heran. Saya lagi berbicara dalam bahasa mandarin dengan seorang wanita Afrika kulit hitam. Yang rambut keritingnya dikelabang-kelabang ke belakang.
Itu terjadi di salah satu pojok halaman di dalam kampus Yale University. Di New Haven. Rabu lalu. Di negara bagian Connecticut, Amerika Serikat.
Beberapa wanita Tionghoa dari Jakarta pun ikut ngobrol dalam bahasa Indonesia. Si Afrika ternyata juga bisa berbahasa Indonesia.
Pohon-pohon besar di kampus Yale berubah warna. Daunnya menguning. Sebagian sudah berguguran ke tanah. Indah. Udara sangat sejuk: delapan serajat Celsius. Matahari bersinar dengan tajamnya. Khas keindahan musim gugur.
Wanita kulit hitam itu lahir di Congo, Afrika. Saya lahir di desa pedalaman Magetan -siapa tahu istri saya lupa.
Dia punya anak perempuan yang sama hitamnya: Adeline. Suami wanita Congo itu orang Tanzania, Afrika. Wanita Congo di pantai barat kawin dangan pria dari Tanzania dari pantai timur.
Tidak jauh dari tempat kami ngobrol, Adeline juga lagi ngobrol bersama dua remaja putri. Yakni Si Ndet dan Ally. Adeline kulit hitam. Ndet cokelat. Ally kulit kuning -kerurunan Tionghoa.