jpnn.com, JAKARTA - Soft power yang digunakan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) melalui pendidikan, bahasa, dan budaya populer makin terlihat di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Sebagian pihak menganggap soft power ini sebagai alat RRT untuk memperoleh keuntungan strategis, salah satunya mengurangi persepsi negatif masyarakat Indonesia terhadap Tiongkok.
Kehadiran soft power ini diyakini dapat mendorong masyarakat yang pernah terpapar pengaruh Tiongkok untuk menyebarkan pandangan positif, meskipun tidak seluruhnya mencerminkan kondisi riil negara tersebut.
Kekhawatiran terhadap pengaruh soft power Tiongkok ini bukan tanpa alasan. Banyak pihak menganggap pemerintah dan masyarakat Indonesia, perlu lebih kritis terhadap dampak soft power tersebut.
Dalam seminar bertajuk “Soft Power RRT Yang Sedang Bangkit dan Dampaknya Di Asia Tenggara Di Bidang Pendidikan Dan Budaya Populer,” yang diadakan oleh Jurusan Magister Ilmu Komunikasi (Mikom) Universitas Pelita Harapan (UPH) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) pada 5 November 2024, isu ini mendapat perhatian serius dari para pakar.
Pakar sinologi yang saat ini menjadi Visiting Senior Fellow pada ISEAS Yusof Ishak Institute Singapura, Prof. Leo Suryadinata, Ph.D, menilai bahwa hingga kini pengaruh soft power RRT di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, belum sepenuhnya terukur. Menurutnya, diperlukan studi lebih lanjut untuk mengetahui dampaknya.
Prof Suryadinata menjelaskan bahwa dengan berkembangnya fenomena kebangkitan China, RRT yang awalnya tidak memiliki kepercayaan diri menjadi berani untuk mengekspor kebudayaan dan pendidikan.
“Namun demikian, dampaknya belum terukur dan masih belum diketahui, bahkan meski pendidikan Tionghoa ini telah diberikan sekian jangka waktu, sampai sekarang ini jarang atau belum ada lulusan RRT yang berpengaruh di pemerintahan negara-negara Asia Tenggara,” ujar penulis buku Rising China’s Soft Power in Southeast Asia: Impact on Education and Popular Culture.