jpnn.com, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus mempertahankan status terdaftar merek 'KASO' pada kelas 6 yang dimiliki oleh PT Tatalogam Lestari pada 4 November 2024 pukul 14.00 WIB. Putusan itu dinilai mencederai rasa keadilan publik.
Gugatan mereka 'KASO' yang diajukan oleh Tedi Hartono melalui Kuasa Hukumnya menyoroti bahwa pendaftaran merek ini bertentangan dengan ketentuan permohonan pendaftaran suatu merek yang tegas diatur oleh Undang-Undang.
Gugatan ini juga berfokus pada indikasi upaya monopoli jenis barang "KASO" sebagai merek dagang oleh PT Tatalogam, yang dianggap menghambat pelaku usaha lain yang dapat saja menggunakan nama yang sama untuk usaha sejenis, tetapi memiliki daya pembeda yang cukup.
Misal KASOLUM untuk merek produk KASO (di mana kasolum jelas membedakan merek dari produknya itu sendiri).
Tedi Hartono menilai, pendaftaran merek 'KASO', diantaranya sebagai nama barang melanggar ketentuan UU Merek karena seharusnya merek yang identik dengan jenis barang atau nama umum tidak dapat didaftarkan.
"Penggunaan nama umum seperti 'KASO' sebagai merek oleh pihak tergugat jelas mengancam kebebasan pelaku usaha lain yang juga menggunakan nama tersebut untuk produk sejenis. Hal ini seharusnya dihindari demi menjaga iklim usaha yang sehat dan bebas dari monopoli sepihak," ujar Tedi kepada wartawan, Jumat (8/11/2024).
Selain itu, Tedi Hartono mengatakan, gugatannya juga menyoroti dugaan kelalaian pemeriksa DJKI (Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual) selaku Turut Tergugat yang meloloskan permohonan pendaftaran merek 'KASO' tanpa memperhatikan bahwa nama tersebut setidaknya jelas merupakan nama barang dan seharusnya tidak dapat didaftarkan di kelas 6 untuk produk sejenis.
Menurutnya, pemeriksa DJKI diduga sejak awal tidak teliti dalam menilai bahwa 'KASO' adalah nama barang dan nama yang sudah umum di masyarakat dan, menurut aturan UU Merek, tidak dapat digunakan atau didaftarkan sebagai merek dagang, dikarenakan sifat ekslusifitas suatu hak merek dimiliki oleh sepihak saja.
"Kelalaian pemeriksa DJKI saat itu, dalam menyetujui jenis barang dan nama umum yang jelas tidak ada daya pembeda antara merek dengan produknya," jelas Tedi Hartono.