Riset UHO-SETARA Institute Ungkap Praktik Tambang Nikel di Sultra Abaikan Aspek Lingkungan & HAM

2 hours ago 1

Riset UHO-SETARA Institute Ungkap Praktik Tambang Nikel di Sultra Abaikan Aspek Lingkungan & HAM

Facebook JPNN.com LinkedIn JPNN.com Whatsapp JPNN.com Telegram JPNN.com

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, dan Peneliti Bisnis dan HAM SETARA Institute-SIGI Initiative, Nabhan Aiqani dalam rilis riset dalam acara Diseminasi dan Seminar Publik yang diselenggarakan oleh Universitas Halu Oleo (UHO) berkolaborasi dengan SETARA Institute dan SIGI Initiative di Kendari, Kamis (11/12/2025). Foto: source for jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Hasil penelitian terbaru mengenai praktik pertambangan nikel di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara mengungkap kesenjangan lebar antara ambisi ekonomi nasional dengan realitas di lapangan.

Meski Sulawesi Tenggara (Sultra) menjadi tulang punggung pasokan nikel global, tata kelolanya dinilai masih jauh dari prinsip pertambangan yang bertanggung jawab (Responsible Mining).

Temuan ini dipaparkan dalam Diseminasi dan Seminar Publik yang diselenggarakan oleh Universitas Halu Oleo (UHO) berkolaborasi dengan SETARA Institute dan SIGI Initiative di Kendari, Kamis (11/12/2025).

Riset kolaboratif tersebut menegaskan bahwa ekspansi industri nikel di Blok Mandiodo dan Morosi telah memicu kerusakan lingkungan sistemik, marginalisasi ekonomi lokal, hingga lemahnya proteksi terhadap hak pekerja.

Hilangnya peran pengawasan daerah akibat sentralisasi perizinan dianggap menjadi pemicu utama rendahnya akuntabilitas perusahaan tambang di wilayah tersebut.

Ketua Tim Peneliti sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian UHO, Prof. Ir. Yani Taufik, M. Si., Ph.D, menyoroti dampak destruktif aktivitas tambang terhadap sektor agraria dan tradisi lokal. Ia mengungkapkan bahwa konversi lahan sawah yang masif telah mengancam ketahanan pangan masyarakat.

"Terjadi penurunan luas sawah produktif yang sangat drastis, dari 5.000 hektare menjadi hanya 1.500 hektare di wilayah terdampak. Selain kehilangan sumber penghidupan, masyarakat juga kehilangan akar budaya mereka. Tradisi lokal seperti metanduale kini mulai hilang akibat perubahan struktur sosial yang dipicu aktivitas tambang," papar Prof. Yani Taufik.

Sejalan dengan itu, Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menekankan adanya masalah serius dalam kebijakan nasional yang dinilai regresif. Menurutnya, pemusatan kewenangan melalui sistem OSS telah menciptakan celah bagi perusahaan untuk mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

"Kebijakan saat ini cenderung menutup ruang partisipasi masyarakat. Pasal-pasal dalam UU Minerba berpotensi menjadi alat pembungkaman (SLAPP) bagi mereka yang kritis. Kami mendesak pemerintah pusat untuk segera melakukan uji tuntas HAM sesuai mandat Perpres 60/2023, agar investasi nikel tidak berjalan di atas penderitaan warga lokal," tegas Halili Hasan.

Meski Sulawesi Tenggara menjadi tulang punggung pasokan nikel global, tata kelolanya dinilai masih jauh dari prinsip pertambangan yang bertanggung jawab.

JPNN.com WhatsApp

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Read Entire Article
Koran JPP|