jpnn.com, JAKARTA - Direktur De Jure Bharata Ibnu Reza menyoroti soal adanya aliran dana dari seorang mantan camat di Semarang kepada jaksa dan polisi.
Dia menyebut peristiwa itu menandakam penegakan hukum masih sangat lemah. Meskipun secara proses penyelidikan saat ini hingga penuntutan dipisahkan antara polisi dan jaksa, nyatanya pendekatan yang menyatakan pendekatan kendali perkara dari awal hingga persidangan menunjukkan celah yang kuat untuk terjadinya praktik korupsi.
“De Jure memandang bahwa kerentanan terjadinya korupsi makin tinggi ketika penegak hukum memiliki kewenangan kendali atas suatu perkara, apalagi kasus yang terkait dengan korupsi dan kejahatan ekonomi,” ujar dia dalam siaran persnya.
Hal itu disebabkan karena tidak adanya check and balance pemeriksaan yang bertahap dari satu institusi ke institusi lain, menjadi celah besar potensi praktik koruptif dan suap-menyuap.
“Pengendali perkara ini setidaknya terjadi pada Kejaksaan sekarang, yang berwenang memulai penyelidikan hingga penuntutan, yang tidak jarang memunculkan praktik abuse of power dalam pelaksanaan kewenangannya,” ujar dia.
Bharata menilai bahwa proses bertahap dalam penegakan hukum di antara institusi tetap harus dipertahankan sebagai penyeimbang satu sama lain, memastikan hak-hak warga negara tidak dilanggar, serta supremasi hukum berjalan sesuai koridornya.
Untuk itu pula, revisi UU Kejaksaan yang hendak menempatkan Kejaksaan sebagai kendali perkara harus ditinjau kembali oleh DPR dan Pemerintah.
“Alih-alih memberikan kewenangan lebih kepada penegak hukum, terutama Kejaksaan, adalah lebih penting bagi DPR dan Pemerintah untuk memperkuat mekanisme pengawasannya, baik secara internal maupun secara eksternal,” kata dia.