jpnn.com - PERTAMINA sedang dilanda gonjang-ganjing karena diduga merugikan negara sekitar Rp193,7 triliun, yang terdiri dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian pemberian kompensasi tahun 2023, dan kerugian pemberian subsidi tahun 2023.
Kasus ini sedang dalam penanganan kejaksaan dengan sembilan orang pejabat Pertamina sebagai tersangka.
Tentu, kasus ini bukan yang pertama, karena ada sejumlah kasus yang pernah menempatkan orang Pertamina sebagai pesakitan. Namun, sungguhkah semua itu berhenti kepada manajemen Pertamina?
Bukan rahasia dari masa ke masa Pertamina selalu objek dari setiap rezim kekuasaan. Rezim baru selalu membersihkan orang yang dianggap “kotor” yang seketika dianggap penjahat, tetapi sesungguhnya hanya sekadar mengganti penjahat baru.
Kalau mau jujur hanya ada beberapa Presiden yang boleh dikatakan benar-benar bersih dalam memanfaatkan Pertamina dengan cara-cara tersamar, sehingga ketika kasus mencuat semuanya ditimpakan kepada orang Pertamina sebagai penanggung jawab tunggal.
Kalau Presiden, Menteri dan semua stakeholder bebas dari kepentingan di Pertamina, maka dengan sendirinya Pertamina akan dikelola secara profesional yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Sebab, tidak akan ada pihak yang berani bermain-main di Pertamina.
Sebaliknya, kalau ada pihak yang berani bermain dalam perminyakan, tentu keberanian itu muncul karena merasa terkait dengan pemangku kekuasaan, sehingga hampir mustahil penguasa tidak mengetahui berbagai permainan di Pertamina.
Untuk itu, gonjang-ganjing Pertamina yang mutakhir ini masih harus diuji, apakah benar-benar untuk mengembalikan semangat awal Pertamina atau sekadar mengganti pemain yang ketika kekuasaan berganti juga akan melahirkan pesakitan baru. Kalau seperti ini, maka sesungguhnya Pertamina hanya menjadi objek yang tidak membawa perubahan tetapi sekadar mengganti orang lama dengan orang sendiri.