Soal Polemik Soeharto Pahlawan, Ketum Muhammadiyah Singgung Bung Karno hingga Buya Hamka

5 hours ago 2

Soal Polemik Soeharto Pahlawan, Ketum Muhammadiyah Singgung Bung Karno hingga Buya Hamka

Facebook JPNN.com LinkedIn JPNN.com Whatsapp JPNN.com Telegram JPNN.com

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. ANTARA/Luqman Hakim .

jpnn.com, YOGYAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan bahwa polemik terkait pengusulan gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 RI, Soeharto, perlu disikapi melalui dialog kebangsaan yang terbuka dan menyeluruh.

"Semua harus ada dialog dan titik temu. Perspektif kita menghargai tokoh-tokoh bangsa yang memang punya sisi-sisi yang tidak baik, tetapi juga ada banyak sisi-sisi baiknya," ujar Haedar di Yogyakarta, Selasa (22/4).

Ia menilai sejarah bangsa Indonesia sering diwarnai tarik ulur dalam pemberian gelar pahlawan nasional karena belum tercapainya kesepakatan dalam memandang tokoh secara utuh. Salah satu contoh adalah Presiden pertama RI, Soekarno, yang sempat tertunda dalam memperoleh gelar tersebut.

"Dulu kita kontroversi soal Bung Karno. Padahal beliau adalah tokoh sentral, proklamator, dan lain sebagainya," ujarnya.

Hal yang sama, menurut Haedar, juga dialami oleh tokoh-tokoh dari kekuatan masyarakat sipil seperti Muhammad Natsir dan Buya Hamka, yang sempat mengalami kesulitan dalam proses pengusulan gelar pahlawan. Namun pada akhirnya, keduanya memperoleh pengakuan dari negara.

Haedar berharap bangsa Indonesia tidak lagi mengulang pola yang sama. Ia mengajak semua pihak untuk melihat tokoh-tokoh bangsa secara lebih utuh dan menjadikan proses penilaian terhadap gelar kepahlawanan sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional.

"Ke depan, coba bangun dialog untuk rekonsiliasi. Lalu, dampak dari kebijakan-kebijakan yang dulu berakibat buruk pada hak asasi manusia dan lain sebagainya itu diselesaikan dengan mekanisme ketatanegaraan yang tentu sesuai koridornya," katanya.

Ia menekankan bahwa pembahasan soal gelar kepahlawanan seharusnya menjadi pembelajaran kolektif agar ke depan bangsa tidak lagi terjebak dalam konflik yang kontradiktif.

Salah satu contoh adalah Presiden pertama RI, Soekarno, yang sempat tertunda dalam memperoleh gelar tersebut.

JPNN.com WhatsApp

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Read Entire Article
Koran JPP|