jpnn.com, JAKARTA - Ketegangan di kawasan Asia Tenggara, khususnya wilayah Laut China Selatan (LCS), dinilai makin mengkhawatirkan akibat rivalitas kekuatan besar dunia yang saling berhadapan.
Akademisi dan pengamat maritim menyerukan pentingnya persatuan dan penguatan peran ASEAN dalam merespons situasi tersebut.
Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto, menyebut agresivitas China dalam 15 tahun terakhir menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya ketegangan di LCS.
Dia membandingkan sikap China masa kini dengan era sebelumnya yang lebih bersikap "low profile".
“Sejak 2012, China mulai aktif menunjukkan kekuatannya melalui aktivitas zona abu-abu di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara Asia Tenggara,” kata Johanes, dalam seminar “China dan Keamanan Maritim Regional” di Jakarta, Senin (19/5).
Aktivitas itu, menurut Dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH), dilandaskan pada klaim "hak sejarah" China yang bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS).
Negara-negara seperti Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia, kata Johanes, pernah menjadi sasaran pelanggaran hak berdaulat oleh China. Karena itu, dia mendorong ASEAN untuk meningkatkan persatuan dan kemampuan menghadapi tekanan tersebut.
Namun, menurut Dosen HI Universitas Indonesia, Ristian Atriandi Supriyanto, sebagian negara ASEAN justru terbelah. “Ada yang mengambil pendekatan lunak karena merasa China terlalu penting secara ekonomi,” ujarnya.