jpnn.com, JAKARTA - Dua rancangan undang-undang penting, yakni RUU KUHAP dan RUU Polri menjadi sorotan dalam diskusi publik yang digelar Padepokan Hukum Indonesia bersama dengan Inanews, pada Selasa 20 Mei 2025.
Kedua RUU ini dinilai sebagai bagian krusial dari reformasi sistem peradilan pidana, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terkait penguatan kewenangan negara tanpa disertai pengawasan yang memadai.
Diskusi publik bertajuk RUU KUHAP dan RUU POLRI, Menguji Arah Hukum Pidana Dalam Demokrasi Konstitusional dihadiri tokoh-tokoh penting lintas sektor, mulai dari akademisi, praktisi hukum, perwakilan institusi kepolisian, hingga aktivis hak asasi manusia.
Ketua Padepokan Hukum Indonesia Musyanto yang juga bertindak sebagai moderator menyampaikan bahwa proses reformasi hukum pidana harus berpijak pada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
“Demokratisasi hukum pidana bukan semata soal perubahan teks. Ini soal bagaimana hukum berpihak pada rakyat, memberi perlindungan, dan menjamin keadilan,” tegas Musyanto.
Beberapa isu krusial yang menjadi sorotan dalam diskusi ini di antaranya adalah pelemahan mekanisme praperadilan, penghapusan konsep hakim komisaris, sentralisasi kewenangan aparat penegak hukum, hingga ketertutupan informasi dalam proses peradilan.
“Hakim komisaris adalah instrumen penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam tahap penyidikan. Ketidakhadirannya justru melemahkan prinsip due process of law,” ujarnya.
Sementara itu, Julius Ibrani, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), mengkritik potensi tumpang tindih kewenangan antara Polri, Kejaksaan, dan KPK yang belum diatur secara tegas dalam RUU tersebut.