jpnn.com - Ada dua kecepatan yang kini berjalan berlawanan di negeri ini: rel kereta yang melesat 350 kilometer per jam dan integritas kebijakan yang tertinggal entah di kilometer berapa.
Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB), yang dengan megah dinamai Whoosh, seharusnya menjadi simbol kemajuan.
Namun, kini ia lebih mirip cermin mahal dari apa yang disebut para ekonom sebagai modernisasi tanpa disiplin fiskal.
Ketika proyek ini diluncurkan pada 2015, pemerintah berjanji bahwa proyek tersebut akan dijalankan tanpa menggunakan uang negara, murni berbasis bisnis ke bisnis (B2B).
Faktanya, janji itu tak sampai di stasiun pertama. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mencatat pembengkakan biaya dari USD 6,05 miliar menjadi USD 7,2 miliar, atau naik sekitar USD 1,15 miliar, setara Rp 16,8 triliun.
Kebocoran anggaran ini memaksa pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021, yang secara resmi membuka jalan bagi keterlibatan APBN, baik melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT KAI maupun penjaminan utang melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII).
Sejak saat itu, proyek yang dijual kepada publik sebagai proyek tanpa APBN berubah menjadi proyek dengan bayangan fiskal terselubung. Relnya cepat, tetapi arah kebijakannya melambat.
Pilihan untuk menggandeng Tiongkok dan meninggalkan tawaran Jepang kini terbukti mahal.

3 hours ago
2





















































