jpnn.com, JAKARTA - Tekanan global terhadap industri nikel Indonesia terus menguat, mulai dari gugatan Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) pada 2020, pemberlakuan tarif tambahan oleh Amerika Serikat, hingga kampanye bertema “dirty nickel” yang menyoroti isu pencemaran lingkungan.
Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menyatakan bahwa industri nikel nasional terus berkembang ke arah berkelanjutan, dengan banyak perusahaan hilirisasi nikel di Indonesia yang telah menerapkan prinsip perlindungan lingkungan, tata kelola yang baik, serta memberikan manfaat sosial dan ekonomi kepada masyarakat.
Ketua Umum FINI Arif Perdanakusumah mengatakan, banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan lingkungan hidup telah diterbitkan pemerintah dan diawasi secara sangat ketat.
"Hal ini menjadi kewajiban bagi pelaku industri hilirisasi nikel untuk menjalankan kegiatan secara bertanggung jawab,” kata Arif, dalam keterangannya, Selasa (20/5).
Arif menambahkan bahwa sejak 2014, program hilirisasi nikel yang dijalankan pemerintah telah membawa Indonesia menjadi produsen nikel terbesar dunia, dengan penguasaan lebih dari 60 persen pangsa pasar global.
“Program ini juga memberikan kontribusi besar bagi pendapatan negara, penyerapan tenaga kerja, alih teknologi, dan efek berganda lainnya,” ujarnya.
Dia juga menyebut pelaku industri hilirisasi terus meningkatkan standar operasional sesuai persyaratan internasional.
“Beberapa pelaku industri bahkan telah memulai proses sertifikasi dengan institusi global seperti IRMA (Initiatives for Responsible Mining Assurance),” jelas Arif.