jpnn.com - Deklarasi universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 merupakan hasil dari pengalaman pahit pada perang dunia kedua dimana telah terjadi genosida terhadap sebuah bangsa terhadap bangsa lain.
Hak asasi manusia sendiri merupakan istilah relatif baru dan menjadi bahasa sehari-hari semenjak perang dunia kedua berakhir dan pembentukan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menggantikan Liga Bangsa Bangsa yang dianggap gagal untuk mengatur negara-negara di dunia dalam perdamaian.
Adalah Eleanor Roosevelt, janda mendiang Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt yang terpilih menjadi ketua bersama dari komisi PBB tentang HAM (United Nations Commission on Human Rights) ketika menyusun rancangan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menemukan bahwa frasa the Rights of Man yang sebenarnya telah ada pada sejumlah dokumen di dunia.
Namun jauh tahun sebelum Eleanor Roosevelt menemukan frasa The Right of Man, yang kemudian dirumuskan dalam Declaration Of Human Right dan di Amerka serikat mulai memikirkan konsep hak asasi manusia, di Bumi Pertiwi di Asia Tenggara para pendiri bangsa kita (Founding Fathers), telah terlebih dahulu memperdebatkan tentang hak hak dasar dari pada Warga Negara yang dikenal dikemudian hari dengan Hak Asasi Manusia.
Pada sidang Rapat Besar Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dipersiapkan oleh penguasa militer Jepang di Asia tenggara pada tanggal 15 Juli 1945, sejarah telah menyimpan memori perdebatan oleh para Founding Fathers kita tentang perlu tidaknya pengaturan tentang Hak Asasi Manusia yang harus dicantumkan dalam hukum dasar kita, yakni UUD yang kemudian kita kenal dengan UUD 1945.
Dalam rapat tersebut, Bung Karno antara lain menyatakan “Kkita menghendaki keadilan sosial, dimana manusia bukan saja mempunyai hak kemerdekaan bersuara, berpendapat dan membentuk organisasi, dan apabila kita menghendaki adanya sosiale rechtvaardigheid dan jika betul-betul mendasarkan negara pada paham kekeluargaan dan gotong royong dan keadilan sosial maka enyahlah pemikiran tiap paham-paham individualistik dan liberalisme.”
Berbeda dengan Moh Hatta saat itu yang berpendapat: Memang saya selalu menentang paham individualistik, kita mendirikan negara baru yang berdasar gotong royong dan hasil usaha bersama, akan tetapi satu hal yang saya khawatirkan kalau tidak ada pertanggung jawaban kepada rakyat dalam Undang Undang Dasar mengenai hak mengeluarkan pendapat maka saya khawatir di kemudian hari kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadi negara baru suatu negara kekuasaan.”
Di kemudian hari hingga saat ini, kita dapat merasakan kata-kata dari Moh Hatta tersebut. Tidak bisa kita bayangkan betapa otoriter dan represifnya sebuah negara atau pemerintahan apabila UUD 1945 tidak memuat pasal-pasal yang mengatur tentang HAM.