Pakar Soroti Tantangan Transisi Energi di Asia Tenggara, Stabilitas Kebijakan Jadi Kunci

3 hours ago 1

Pakar Soroti Tantangan Transisi Energi di Asia Tenggara, Stabilitas Kebijakan Jadi Kunci

Facebook JPNN.com LinkedIn JPNN.com Whatsapp JPNN.com Telegram JPNN.com

Transisi energi di Asia Tenggara menghadapi berbagai tantangan yang perlu diselesaikan secara kolektif. Foto: dok sumber

jpnn.com, JAKARTA - Transisi energi di Asia Tenggara menghadapi berbagai tantangan yang perlu diselesaikan secara kolektif. Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Mardani Ali Sera menekankan pentingnya kolaborasi antarnegara untuk mewujudkan kawasan yang berbasis energi bersih dan terbarukan.

“Kita mesti berkolaborasi dan bersatu mewujudkan Asia Tenggara yang berbasis energi bersih dan terbarukan,” ujar Mardani dalam webinar Transisi Energi yang diselenggarakan oleh Stratsea dan Asatu Research & Insights.

Webinar ini menghadirkan sejumlah pakar dari berbagai negara di Asia Tenggara yang membahas kendala utama dalam transisi energi. Dr. Zul Ilham, Associate Professor di Universiti Malaya, mengungkapkan bahwa kebutuhan investasi besar menjadi hambatan utama bagi pengembangan energi bersih di kawasan.

“Biaya investasi masih menjadi hambatan bagi teknologi seperti geothermal dan offshore wind, yang membutuhkan modal awal yang sangat besar,” ujarnya.

Senada dengan itu, Christina Ng, Co-founder Energy Shift Institute, menyoroti faktor yang membuat investor ragu menanamkan modal di proyek transisi energi di Asia Tenggara.

“Yang sebenarnya dibutuhkan investor adalah kebijakan yang stabil. Sayangnya, di pasar negara berkembang, termasuk Asia Tenggara, kebijakan sering kali berubah-ubah. Hal ini menciptakan citra kurang baik dan tidak memberikan kepercayaan bagi investor,” ungkap Christina.

Mengutip data World Economic Forum, ASEAN merupakan konsumen energi terbesar keempat di dunia dengan populasi mendekati 700 juta jiwa. Dalam 20 tahun terakhir, konsumsi energi di kawasan ini meningkat rata-rata 3 persen per tahun, dan tren ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga akhir dekade ini.

Akibatnya, emisi karbon di Asia Tenggara terus meningkat, melampaui rata-rata global sebesar 1 persen pada 2022, dengan kenaikan tahunan sekitar 3 persen. Besarnya konsumsi energi dan lonjakan emisi karbon menegaskan urgensi kolaborasi yang lebih erat serta kebijakan yang lebih terintegrasi di kawasan ini.

Biaya investasi masih menjadi hambatan bagi teknologi seperti geothermal dan offshore wind.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Read Entire Article
Koran JPP|